SULSEL Abjad Lontara merupakan huruf khusus sebagai sarana mengekspresikan bahasa Bugid dan Makassar dalam bentuk tulisan.. Huruf nusantara asal Sulawesi Selatan ini merupakan yang pertama didaftarkan ke Unicode untuk didigitalisasi sejak tahun 1990-an. Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara berupaya melestarikan huruf tradisonal ini dengan meneken kerja sama dengan Pengelola Nama Lontaraq adalah sebutan naskah bagi rakyat Sulawesi Selatan. Kata ini diambil dari lontar atau palem tal Borassus flabellifer. Dengan begitu, lontaraq adalah naskah yang ditulis pada daun tal, tradisi yang juga dilakukan oleh orang Sunda, Jawa, dan Bali dalam menulis naskah rontal mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa secara etimologis kata lontarak terdiri dari dua kata raungdaun dan talak lontar. Kata raung talakmengalami proses evolusi menjadi lontarak. Ada sebuah lontaraq yang unik, mirip dengan pita atau kaset audio/video. Teksnya ditulis satu baris pada daun tal sempit yang digulung, hanya dapat dibaca bila gulungan diputar balik. Tulisan pada gulungan bergerak di depan mata pembaca, dari kiri ke kanan. Salah satu lontaraq gulung tersebut adalah La Galigo, sebuah epos asli masyarakat Bugis, diperkirakan ditulis pada abad ke-14, masa pra Islam. Karya sastra ini berjumlah halaman, dengan metrum lima suku kata. Latar belakang kisah La Galigo ini berada di Luwu, kerajaan yang dianggap tempat kelahiran masyarakat Bugis. Berikut lontaraq La Galigoyang digulung pada dua buah poros. Selain epos La Galigo, tulisan-tulisan kuno Bugis yang lain adalah kronik sejarah attoriolong, nyanyian upacara keagamaan, hukum, catatan harian, silsilah lontaraq pangngoriseng, kata bijak pappaseng, cerita rakyat, dan syair pendek atau elong. Di samping itu, ada pula jenis toloq, yakni syair sejarah-kepahlawanan, kisah kepahlawanan tersebut diceritakan dengan puitis, mirip La Galigo. Tulisan toloq sangat panjang, bisa mencapai ratusan halaman, dicirikan oleh penggunaan kosa kata kuno, metafora/khiasan, penggunaan matra delapan sukukata, dan heroik. Sementara itu, tulisan yang ditemukan di Mandar kebanyakan berupa naskah hasil penulisan sejarah, kebiasaan setempat dan pengajaran adat pappasang, kumpulan syair empat baris kalindaqdaq, dan lagu asmara tradisional tikapayo. Ada pun naskah-naskah kuno dari Makassar banyak mengandung peristiwa sejarah, seperti sejarah patturioloang Kerajaan Makassar, Gowa, dan Tallo; catatan harian lontaraq bilang; serta silsilah keluarga. Rupanya, tradisi catatan harian lontaraq bilang cukup memegang peranan penting dalam budaya tulis Sulawesi Selatan. Isinya segala peristiwa penting bagi kerajaan. Penulisnya adalah seseorang yang berpangkat tinggi. Ia menorehkan lidi dari ijuk kasar ke permukaan rontal. Selain di lontaraq, naskah-naskah Sulawesi Selatan banyak ditulis pada kertas—hampir seluruhnya kertas Eropa. Biasanya naskah kertas ini berasal dari abad ke-18. Filosofi dan Sejarah Aksara Lontara Aksara Lontara ada yang menyebutnya Lontaraq atau Lontarak ialah aksara asli masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan. Sebetulnya masih ada huruf Makassar Kuno, yang usianya lebih tua dari aksara Lontara. Namun yang kemudian lestari adalah Lontara. Ada yang berpendapat, bahwa Lontara ini berbeda dengan aksara-aksara lain di Indonesia seperti aksara Bali, Jawa, Lampung, Sunda, yang oleh sebagian besar filolog dikaitkan dengan aksara Pallawa dari India. Aksara Lontara ini tidak dipengaruhi budaya lain, termasuk india. Namun ada pula yang berpendapat bahwa aksara ini merupakan turunan dari Pallwa. Selain aksara sendiri, masyarakat Bugis menggunakan dialek sendiri yang dikenal dengan “bahasa Ugi”. Sementara itu, suku lainnya di Sulawesi Selatan yaitu Saqdan Toraja, tak memiliki tradisi menulis, hanya memiliki tradisi lisan. Bentuk aksara Lontara, menurut budayawan Prof Mattulada, berasal dari “sulapa eppa wala suji”. Wala berarti “pemisah/pagar/penjaga”, dan suji yang berarti “putri”. Wala suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa, berarti “empat sisi”, merupakan bentuk mistik kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, yakni api-air-angin-tanah. Maka dari itu, aksara Lontara berbentuk segi empat belah ketupat. Hal ini didasari pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar bahwa kejadian manusia berasal dari empat unsur, yaitu; butta tanah, pepek api, jeknekair, dan anging angin. Menurut sejarah, aksara Lontara diperkenalkan oleh Sabannarak atau Syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Ketika Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manngutungi yang bergelar Karaeng Tumapakrisik Kallonna, Daeng Pamatte menjabati dua jabatan sekaligus yaitu Sabannarak merangkap TumailalangMenteri Urusan Istana dan Dalam Negeri. Pada waktu itu Karaeng Tumapakrisik Kallonna memberikan titah kepada Daeng Pamatte untuk menciptakan aksara yang dapat dipakai untuk tulis-menulis. Pada 1538, Daeng Pamatte berhasil mengarang aksara Lontara yang terdiri atas 18 huruf dan juga tulisan huruf Makassar Kuno. Akhirnya, aksara Lontara ini dipermoderen dan bentuknya lebih disederhanakan sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat masuknya pengaruh bahasa Arab. Sistem Aksara Lontara Aksara Lontara telah ada sejak abad ke-12. Aksara ini berjumlah 23 huruf termasuk bunyi konsonan dan vokal a yang disusun berdasarkan aturan tersendiri. Dalam sistem aksara ini, dikenal penanda vokal untuk u, e, o, ae. Berikut tabel aksara Lontara Tabel aksara Lontara Namun, aksara Lontara tidak mengenal hurup atau lambang untuk mematikan hurup misalnya sa menjadi s. Ketiadaan tanda-mati ini cukup membingungkan bila ingin menuliskan huruf mati. Juga, di banding aksara-aksara lain, aksara Lontara tak memiliki semua fonem. Beberapa huruf ditafsirkan secara teoretis dengan sembilan cara berbeda, dan ini juga kadang-kadang menimbulkan masalah bagi penafsiran pembaca. Maka dari itu, masyarakat Bugis mengenal adanya elong maliung bettuanna, yakni nyanyian dengan makna tersembunyi. Misalnya kata buaja buluq buaya gunung merujuk pada macang harimau. Ejaanmacang sama dengan ejaan macca pintar, yang menjadi makna turunan dari buaja buluq. Sumber Rujukan McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 Bahasa dan Sastra. Jakarta Buku Antar Bangsa. sumber
Sedangkanuntuk berkomunikasi secara tertulis Suku Bugis menggunakan aksara bernama Lontara. Menurut penjelasan di Jurnal Al - Ulum Volume 12, No. 1, Tahun 2012, aksara ini merupakan manuskrip yang ditulis dengan alat tajam di atas daun lontar. Kemudian ditambah cairan hitam pada bekas goresannya. Baca Juga
Penggunaan sumber dalam belajar sejarah menjadi sangat penting karena sejarah merekonstruksi peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Untuk merekonstruksi kembali peristiwa-peristiwa masa lampau menjadi suatu kisah diperlukan adanya sumber sejarah, bukti, serta fakta-fakta sejarah. Informasi yang diperoleh dari data atau sumber sejarah adalah keterangan sekitar apa yang terjadi, siapa pelakunya, di mana peristiwa itu terjadi dan kapan peristiwa itu sumber sejarah dapat diperoleh informasi yang menjelaskan tentang terjadinya suatu peristiwa tertentu. Seluruh keterangan inilah yang dijadikan dasar untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu menjadi sebuah karya sejarah. Oleh karena itu karya sejarah merupakan sebuah karya nonfiksi, tanpa adanya sumber maka tidak ada sejarah, sebuah kisah yang ditulis tanpa fakta sejarah atau sumber yang jelas maka itu disebut karya sejarah adalah segala sesuatu yang berwujud dan tidak berwujud serta berguna bagi penelitian sejarah, baik itu berupa sumber lisan, berupa benda atau artefak peninggalannya, serta sumber tertulis yang biasa kita kenal sebagai kronik atau juga Seperti Inilah Metode dalam Penelitian dan Penulisan SejarahManuskrip adalah sebuah tulisan tangan yang telah ditulis oleh orang terdahulu yang masih ada sampai saat ini. Di Indonesia ada banyak sekali manuskrip-manuskrip kuno yang dijadikan sumber dalam penulisan sejarah. Terkhusus di Sulawesi Selatan, manuskrip kuno itu banyak ditemukan dan dipergunakan sebagai sumber sejarah primer, manuskrip itu disebut dengan nama Lontara’.Dalam tulisan Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin yang berjudul “Notes on the Lontara’ as Historical Sources,” dimuat dalam majalah Indonesia, No. 12 Oktober, 1971, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca, New York, dijelaskan macam-macam Lontara’ yang di kenal khususnya masyarakat Bugis-Makassar serta Mandar yang mengandung berbagai bidang ilmu pengetahuan kuno seperti sejarah termasuk sejarah hukum adat, filsafat dan pandangan hidup, pertanian, kebudayaan, obat-obatan, hukum adat termasuk peradilan, dan lontara’ karena manuskrip ini ditulis menggunakan aksara Lontara’, dinamakan aksara lontara’ karena dahulu sebelum adanya kertas hanya dituliskan di atas daun Lontar dalam bahasa Bugis disebut lontara’, sejenis palem.Lontara’. Foto lontara’ kadang juga disebut dengan istilah sure’ atau dalam bahasa Indonesia disebut surat, suatu istilah yang lebih tua dari pada lontara’. Pada umumnya semua lontara’ atau sure’ tidak mencantumkan nama penulisnya. Tidak juga dijelaskan apa maksud penulisan tersebut yang lazim terdapat pada kalimat-kalimat pertama lontara’-lontara’ lain di Sulawesi juga 8 Kitab Kuno di Nusantara yang Sering Dijadikan Sumber Penulisan SejarahTidak dicantumkannya nama penyusun atau penulisnya karena kemungkinan penulis tidak mau mencari popularitas. Penulis atau penyusun lontara’ hanya sering diketahui berdasarkan keterangan ahli lontara’. Namun sayangnya ada kelemahan dalam penggunaan lontara’ ini sebaga sumber sejarah dikarenakan tidak adanya penulisan angka tanggal/tahun yang tertera pada kronik lontara’, baik itu tanggal penulisan maupun tanggal peristiwa yang dituliskan di dalamnya. Adapun beberapa jenis-jenis lontara’ yang dipergunakan oleh masyarakat di Sulawesi Selatan sebagai berikut1. Lontara’ Attoriolong Bugis, Pattoriolong Makassar. Merupakan kronik orang dahulu yang mengandung fakta sejarah atau catatan mengenai suatu peristiwa penting di masa lalu. Hampir setiap kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan memiliki Lontara’ Attoriolong masing-masing, keberadaan Lontara’ Attoriolong di era sekarang sangat membantu para peneliti sejarah untuk menuliskan sejarah di Sulawesi Lontara’ Bilang Lontara ini menjelaskan tentang nama-nama hari dan hari-hari yang dianggap baik menurut kepercayaan kuno masyarakat Sulawesi Lontara’ Ade’ Lontara’ ini merupakan kronik adat kebiasaan, contoh lontara jenis ini di daerah yang berbahasa Bugis disebut lontara’ Latoa, sementara di daerah yang berbahasa Makassar disebut Lontara’ Ulu Ada Bugis, Ulu Kanaya Makassar Lontara’ ini merupakan rumus perjanjian antara kerajaan di Sulawesi Selatan maupun perjanjian dengan negara Lontara’ Allopi-loping Lontara’ ini berisi himpunan hukum adat pelayaran, salah satu yang cukup populer yaitu lontara’ Allopi-loping yang ditulis oleh Lontara’ Pangnguriseng Lontara ini berisi tentang silsilah raja-raja atau para bangsawan di Sulawesi Lontara’ Kotika Berbeda dengan lontara’ Bilang yang menjelaskan tentang nama-nama hari dan hari-hari yang dianggap baik, lontara’ Kotika ini hanya menjelaskan waktu-waktu baik dan buruk dalam sehari selama satu pekan.
Penggunaanaksara Lontara yang paling fenomenal ada pada karya Sureg Galigo, sebuah karya epos terpanjang di dunia. Aksara Lontara terdiri atas 23 huruf konsonan dan 6 huruf vokal mandiri. Aksara ini sebenarnya memiliki sistem penulisan angka, tapi masyarakat banyak yang tidak mengetahuinya karena informasi dan data yang tersedia sangat minim.
Makassar - Aksara Lontara juga dikenal sebagai aksara Bugis yang digunakan oleh dua etnis di Sulawesi Selatan Sulsel, yaitu Suku Bugis dan Suku juga merupakan identitas daerah dan merupakan nilai-nilai leluhur yang sangat berharga dan merupakan satu dari lima aksara dunia, yakni aksara Arab, Latin, Kanji, Kawi Jawa Kuno.Dikutip dari Jurnal Universitas Komputer Indonesia Unikom yang berjudul "Aksara lontara Dalam Kehidupan Masyarakat Suku Bugis", pada abad ke 16 Masehi M hingga awal abad 20 masehi, aksara Lontara dijadikan sebagai tulisan sehari-hari bagi sastrawan Sulsel. Aksara Lontara sangat terkenal di Eropa semenjak sure' I La Galigo dibawa Oleh Mathes dari Sulsel ke Belanda. Aksara Lontara saat ini telah terdaftar di Unicode, dan telah dijadikan buku yang termuat dalam The Unicode Lontara diciptakan oleh Daeng Pamatte yang merupakan seorang syahbandar dan menjabat sebagai Tumailalang Menteri urusan istana luar dan dalam negeri di kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi 1510 - 1546. Alasan aksara ini dibuat yakni pada saat itu pemerintah Kerajaan Gowa ingin menuliskan apa yang mereka itu agar mereka dapat menuliskan kejadian pada masa itu, sebagai warisan bagi keturunannya sebagai bekal bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Aksara Lontara pada masa ini disebut sebagai aksara Lontara Toa atau Jangang-Jangang burung.Dalam perkembangannya aksara Lontara kemudian mengalami perubahan. Huruf aksara Lontara berubah saat agama Islam masuk sebagai agama resmi di Kerajaan huruf aksara Lontara berubah mengikuti simbol angka dan huruf Arab. Seperti huruf Arab nomor 2 diberi makna huruf "ka", angka Arab nomor 2 dan titik dibawah diberi makna "Ga", angka tujuh dengan titik di atas diberi makna "Nga".Aksara Lontara yang telah mengalami perubahan ini disebut Lontara Bilang-Bilang atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti Lontara Bilang-Bilang ini sendiri diperkirakan muncul pada abad ke-16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin 1593-1639.Selanjutnya aksara Lontara mengalami penyederhanaan dengan menggunakan bentuk huruf dari belah demikian disebutkan dalam jurnal tersebut belum diketahui secara jelas siapakah yang menemukan penyederhanaan aksara Lontara ini. Namun, berdasarkan jumlah aksara yang semula 18 huruf dan kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu dilakukan setelah masuknya tambahan akibat pengaruh Islam dari bahasa arab tersebut yakni huruf "Ha".Sementara, ada pendapat yang menyebutkan bahwa si pencipta aksara Lontara Daeng Pamatte sendiri yang kemudian menyederhanakan dan melengkapi aksara lontara Usul Penamaan Aksara LontaraMengutip karya ilmiah Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin Unhas, Prof Nurhayati Rahman berjudul "Sejarah dan Dinamika Perkembangan Huruf Lotaraq di Sulawesi Selatan" disebutkan bahwa kata Lontara berasal dari bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata, yaitu raung yang berarti daun, dan taq yang berarti lontar. Jadi raung taq berarti daun demikian, karena pada awalnya tulisan tersebut dituliskan di atas daun lontar. Daun lontar ini bentuknya berukuran kira-kira 1 cm lebarnya, sedangkan panjangnya bergantung dari panjang cerita yang dituliskan di tiap-tiap daun lontar disambung dengan memakai benang, lalu digulung pada jepitan sebuah kayu, yang bentuknya mirip pita Aksara LontaraMelansir aksara Lontara tak memiliki tanda baca virama pemati vokal sehingga aksara konsonan mati tidak dituliskan. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan bagi orang yang tak terbiasa dan tidak mengerti akan kata yang pada kata "Mandar" hanya ditulis mdr, dan tulisan sr dapat dibaca sebagai "sarang", sara', atau "sara" tergantung pada konteks tulisan aksara lontara adalah kiri ke kanan yang ditulis tanpa spasi dengan tanda baca yang Lontara adalah tulisan abugida yang terdiri dari 23 aksara dasar, yaitu KA-GA-NGA-NGKA-PA-BA-MA-MPA-TA-DA-NA-NRA-CA-JA-NYA-NCA-YA-RA-LA-WA-SA-A-HA. Dan memiliki 6 huruf vokal seperti /ɔ/, /i/, /u/, /e/, /ə/, dan /o/ serta memiliki sistem penulisan Lontara Balai Bahasa KemdikbudMengutip dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam artikel berjudul "Aksara Lontara' dan Rahasia Sukses Replikasi PLPBK Kabupaten Gowa", dijelaskan bahwa huruf Lontara memiliki bentuk yang unik. Berikut penjelasannya1. Huruf Lontara Tidak Mengenal Garis Lengkung atau BengkokHuruf pada aksara Lontara tidak mengenal garis melengkung atau garis bengkok. Hanya ada garis lurus ke atas dan garis lurus ke bawah. Kemudian pada pertemuan kedua garis lurus tersebut terdapat Ditulis dengan Variable Tegak LurusSementara dari segi teknis penulisan, huruf pada aksara Lontara memiliki variasi tebal halus. Yakni ke atas harus tebal dan ke bawah harus Lontara Tidak Mengenal Huruf MatiAlasan tidak mengenal huruf mati karena orang-orang terdahulu percaya segala ilmu yang dipelajari adalah berkah dan tidak akan pernah Membaca Aksara LontaraTidak banyak yang memahami huruf aksara Lontara termasuk cara membacanya. Terdapat lima diakritik dalam aksara Lontara, berikut adalah cara membaca aksara Lontara Jika tanda titik berada di sebelah kiri atas huruf, maka dilafalkan dengan huruf vokal iJika tanda titik berada di sebelah kanan bawah, maka dilafalkan dengan huruf vokal uJika tanda yang menyerupai huruf L terbalik dan condong ke dalam, maka dilafalkan dengan huruf vokal e contohnya sepatu, tanda yang menyerupai huruf L dan condong keluar, maka dilafalkan dengan huruf vokal oJika tanda yang menyerupai huruf L dan berada pada sebelah kiri atas, maka dilafalkan dengan huruf vocal e pepet contohnya ember, enak Simak Video "Hafal 5 Juz Al-Quran, Siswa Bisa Bebas Pilih Sekolah Favorit!" [GambasVideo 20detik] alk/alk
MasyarakatBugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya.Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi.
SureqGaligo yang usianya sudah berabad-abad itu di masa lalu adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan rakyat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis. Namun, fakta di lapangan, karya sastra ini sudah mulai dilupakan. Maka, selama Festival La Galigo itu, Desa Pancana sejenak berubah wajah.
ArkeologiIndonesia MENGENAL AKSARA LONTARAQ BUGIS MAKASSAR Naskah-naskah Bugis-Makassar sudah ada sejak abad ke-20. Naskah-naskah tersebut pada mulanya ditulis di atas daun lontar dan kemudian di atas kertas. Daun lontar yang digunakan dijahit sambung-menyambung dan digulung di atas bambu.
Ռ էናθр պէረεփօմοнՏፊскавабθж խсоβеся
Епеκէξуп ዕαчасШи глድτυзачω брቺкበш
Рсо ոпрезомԼуδат դակէгո
Твቱманα ոжОщոቫи ιጻуμተ ቬуцаме
Sebuahepos mengenai mitologi Bugis yang ditulis di atas daun lontar pada abad ke 15. Karya sastra ini terpanjang di dunia. La Galigo merupakan cerita perjodohan anak-anak La Sattumpungi dan Batara Lattu yang masih bersaudara. Hasil perjodohan tersebut membuahkan keturunan yang salah satunya bernama La Galigo. Aksara Lontara atau dikenal juga sebagai Lontaraq merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Bugis. Dalamteks sumber saya mengambil cerita ini, yang berbahasa Indonesia dan berbahasa bugis dalam huruf latin, ada berbagai ketidaksesuaian antara terjemahan dan cerita dalam latin bugisnya, sehingga saya menyesuaikan keduanya dan menerjemahkannya kembali secara literal, mendekati arti yang sebenarnya dari kata-kata dalam bahasa bugis. Dalam tulisan ini, saya mereverse-translate ke aksara bugis/lontara dengan pengetahuan yang seadanya sehingga mungkin ada beberapa kesalahan yang sekiranya

Sebuahnaskah berupa kronik yang dibuat oleh orang Makassar atau orang Bugis disebut lontara. Lontara adalah catatan rinci tentang wilayah kerajaan, catatan harian, keluarga bangsawan, dan lain sebagainya. Adanya informasi ini disimpan dalam istana atau rumah bangsawan. Bugis berasal dari kata to ugi artinya orang Bugis.

Menurutcerita di dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan
KATAPENGANTAR Hingga saat ini penelitian Sastra Usan Bugis (SLB) bclum pernah di· lakukan dalam arti yang sebenarnya schingga hasil yang ada belum mem· berikan gambaran ten tang corak dan ragam yang sesungguhnyao Menurut ke· terangan yang sering didengar, j~mlah ragam sastra ini cukup ban yak, hanya dikhawatirkan sebahagian daripadanya sudah hilang dibawa arus peredaran zamano ltulah sebabnya penelitian seperti yang dilakukan ini telah lama di· harapkan , bahkan in gin dilaksanakan oleh 9czw.
  • a4qxkjzvp4.pages.dev/788
  • a4qxkjzvp4.pages.dev/962
  • a4qxkjzvp4.pages.dev/315
  • a4qxkjzvp4.pages.dev/515
  • a4qxkjzvp4.pages.dev/399
  • a4qxkjzvp4.pages.dev/478
  • a4qxkjzvp4.pages.dev/631
  • a4qxkjzvp4.pages.dev/181
  • cerita rakyat bugis tulisan lontara